Pendahuluan
Sebagaimana telah dijelaskan dalam modul Pengantar Ilmu Komunikasi, ilmu komunikasi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan sosial yang bersifat multidisipliner. Disebut demikian karena pendekatan-pendekatan yang dipergunakan berasal dari dan menyangkut berbagai bidang keilmuan (disiplin) lainnya, seperti linguistik, sosiologi, psikologi, antropologi, politik, dan ekonomi. Hal ini akan terlihat jelas dalam pembahasan mengenai berbagai teori, model, perspektif, dan pendekatan dalam ilmu komunikasi yang akan diuraikan dalam keseluruhan modul ini. Sifat “kemultidisiplinan” ini tidak dapat dihindari karena objek pengamatan dalam ilmu komunikasi sangat luas dan kompleks, menyangkut berbagai aspek sosial, budaya, ekonomi, dan politik dari kehidupan manusia.
Sebagai pendahuluan, Modul 1 ini akan berisikan 4 (empat) pokok kegiatan belajar: pendekatan-pendekatan dalam keilmuan, pengertian ilmu dan teori, komponen konseptual dan jenis-jenis teori komunikasi.
Secara umum tujuan dari modul ini adalah untuk memberikan pemahaman mengenai pengertian dasar, karakteristik, kerangka konseptual, serta pendekatan dan perspektif yang ada dalam ilmu komunikasi.
Setelah mempelajari modul ini, Anda diharapkan dapat memahami mengenai:
1. Pendekatan-pendekatan dalam keilmuan;
2. Pengertian ilmu dan teori dalam ilmu komunikasi;
3. Komponen-komponen konseptual dan jenis-jenis teori komunikasi;
4. Perspektif-perspektif yang mendasari pengembangan teori komunikasi.
Pendekatan-pendekatan dalam Keilmuan
Sebelum sampai pada pembahasan tentang berbagai teori dan model dalam ilmu komunikasi, ada baiknya apabila kita terlebih dahulu membahas mengenai pendekatan-pendekatan atau pandangan-pandangan dalam keilmuan yang berlaku di kalangan masyarakat akademis. Hal ini penting karena pandangan-pandangan tersebut merupakan kerangka dasar dari berbagai teori dan model yang ada dalam ilmu komunikasi.
Menurut Littlejohn, dalam bukunya Theories of Human Communication (diterbitkan dalam beberapa edisi: tahun 1989, 1995, 2002), secara umum dunia masyarakat ilmiah menurut cara pandang serta objek pokok pengamatannya dapat dibagi dalam 3 (tiga) kelompok atau aliran pendekatan. Ketiga kelompok tersebut adalah pendekatan scientific (ilmiah-empriris), pendekatan lumanistic (humaniora interpretatif), serta pendekatan social sciences (ilmu-ilmu sosial).
Aliran pendekatan scientific umumnya berlaku di kalangan para ahli ilmu-ilmu eksakta, seperti fisika, biologi, kedokteran, matematika, dan lain-lain. Menurut pandangan ini ilmu diasosiasikan dengan objektivitas. Objektivitas yang dimaksudkan di sini adalah objektivitas yang menekankan prinsip standarisasi observasi dan konsistensi. Landasan filosofinya adalah bahwa dunia ini pada dasarnya mempunyai bentuk dan struktur. Secara individual para peniliti boleh jadi berbeda pandangannya satu sama lain tentang bagaimana rupa atau macam dari bentuk dan struktur tersebut. Namun, apabila peneliti melakukan penelitian terhadap suatu fenomena dengan menggunakan metode yang sama maka akan dihasilkan temuan yang sama. Inilah hakikat dari objektivitas dalam konteks standarisasi observasi dan konsistensi.
Ciri utama lainnya dari kelompok pendekatan ini adalah adanya pemisahan yang tegas antara known (objek atau hal yang ingin diketahui dan diteliti) dan knower (subjek pelaku/pencari pengetahuan atau pengamatan). Salah satu bentuk metode penelitian yang lazim dilakukan adalah metode eksperimen. Melalui metode ini, si peneliti secara sengaja melakukannya suatu percobaan terhadap objek yang ditelitinya. Tujuan penelitian lazimnya diarahkan pada upaya menggukur ada tidaknya pengaruh atau hubungan sebab akibat di antara dua variabel atau lebih, dengan mengontrol pengaruh dari variabel lain. Prosedr yang umum dilakukan adalah dengan cara memberikan atau mengadakan suatu perlakuan khusus kepada objek yang diteliti serta meneliti dampak dan pengaruhnya. Sebagai contoh: Lima ekor tikus diberikan suntikan X, sementara lima ekor tikus lainnya (yang mempunyai ciri yang sama) tidak. Setelah kurun waktu tertentu (misalnya setelah 1 bulan, 3 bulan, dan seterusnya), dibandingkan ada tidaknya perbedaan di antara kedua kelompok lima ekor tikus tersebut. Kalau ternyata terdapat perbedaan, dapat ditarik kesimpulan bahwa perbedaan tersebut terjadi karena pengaruh dari suntikan X tersebut.
Apabila aliran pendekatan scientific mengutamakan prinsip objektivitas maka kelompok pendekatan humanistic mengasosiasikan ilmu dengan prinsip subjektivitas. Perbedaan-perbedaan pokok antara kedua aliran pendekatan ini antara lain sebagai berikut.
1. Bagi aliran pendekatan scientific, ilmu bertujuan untuk menstandarisasikan observasi, sementara aliran
humanistic mengutamakan kreativitas individual.
2. Aliran scientific berpandangan bahwa tujuan ilmu adalah mengurangi perbedaan-perbedaan pandangan
tentang hasil pengamatan, sementara aliran humanistic bertujuan untuk memahami tanggapan dan hasil
temuan subjektif individual.
3. Aliran scientific memandang ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang berada di sana (out there), di lluar
diri pengamat/peneliti. Di lain pihak, aliran humanistic melihat ilmu pengetahuannya sebagai sesuatu yang
berada di sini (in there), dalam arti berbeda dalam diri (pemikiran, interprestasi) pengamat/peneliti.
4. Aliran scientific memfokuskan perhatiannya pada dunia hasil penemuan (discovered world), sedangkan
aliran humanistic menitikberatkan perhatiannya pada dunia para penemunya (discovering person).
5. Aliran scientific berupaya memperoleh konsensus, sementara aliran humanistic mengutamakan
interprestasi-interprestasi alternatif.
6. Alternatif scientific membuat pemisahan yang tegas antara known dan knower, sedangkan aliran
humanistic cenderung tidak memisahkan kedua hal tersebut.
Dalam konteks ilmu-ilmu sosial, salah satu bentuk metode penelitian yang lazim dipergunakan dari aliran humanistic ini adalah “partisipasi observasi”. Melalui metode ini, si peneliti dalam mengamati sikap dan perilaku dari orang-orang yang ditelitinya, membaur dan melibatkan diri secara aktif dalam kehidupan orang-orang tersebut, serta ikut serta dalam aktivitas sehari-hari mereka dalam kurun waktu tertentu (1 minggu, 1 bulan, dan seterusnya). Interprestasi atas sikap dan perilaku dari orang-orang yang ditelitinya, tidak hanya didasarkan atas informasi yang diperoleh melalui hasil wawancara atau tanya jawab dengan orang-orang yang ditelitinya, tetapi juga atas dasar pengamatan langsung dan pengalaman berinteraksi dengan mereka.
Pandangan klasik dari aliran humanistic adalah bahwa cara pandangan seseorang tentang sesuatu hal akan menentukan penggambaran dan uraiannya tentang sesuatu hal akan menentukan penggambaran dan uraiannya tentang hal tersebut. Karena sifatnya yang subjektif dan interpretatif, maka pendekatan aliran humanistic ini lazimnya cocok diterapkan untuk mengkaji persoalan-persoalan yang menyangkut sistem nilai, kesenian, kebudayaan, sejarah dan pengalaman pribadi.
Kelompok aliran yang ketiga adalah pendekatan khusus ilmu pengetahuan sosial (social sciences). Pendekatan yang diterapkan oleh para pendukung kelompok aliran ini pada dasarnya merupakan gabungan atau kombinasi dari pendekatan-pendekatan aliran “scientific” dan “humanistic”. Dalam banyak hal, pendekatan ilmu sosial merupakan perpanjangan (extension) dari pendekatan ilmu alam (natural science), karena beberapa metode yang diterapkan banyak di antaranya yang diambil dari ilmu alam/fisika. Namun, metode-metode pendekatan aliran “humanistic” juga diterapkan.
Dipergunakannya dua pendekatan “scientific” dan “humanistic” yang masing-masing berbeda prinsip ini, adalah karena yang menjadi objek studi dalam ilmu pengetahuan sosial adalah kehidupan manusia. Untuk memahami tingkah laku manusia diperlukan pengamatan yang cermat dan akurat. Untuk ini jelas bahwa pengamatan harus dilakukan seobjektif mungkin agar hasilnya dapat berlaku umum tidak bersifat kasus. Dengan kata lain, para ahli ilmu sosial, seperti halnya para ahli ilmu alam, harus mampu mencapai kesepakatan atau konsensus mengenai hasil temuan pengamatannya, meskipun kesepakatan/konsensus yang dicapai tersebut sifatnya “relatif” dalam arti dibatasi oleh faktor-faktor waktu, situasi dan kondisi tertentu. Di samping faktor objektivitas, ilmu pengetahuan sosial juga mengutamakan faktor penjelasan dan interprestasi. Hal ini disebabkan oleh manusia yang jadi objek pengamatan adalah makhluk yang aktif, memiliki daya pikir, pengetahuan, memegang prinsip dan nilai-nilai tertentu, serta sikap tindaknya dapat berubah sewaktu-waktu. Oleh karena itulah maka interpretasi subjektif terhadap kondisi-kondisi spesifik tingkah laku manusia yang jadi objek pengamatan juga diperlukan guna menangkap makna dari tingkah laku tersebut. Sering kali perbuatan seseorang bersifat “semu” dalam arti tidak mencerminkan keinginan hati yang sebenarnya dari orang tersebut.
Interpretasi dan penjelasan juga diperlukan karena meskipun berdasarkan ciri-ciri biologis, sosial, atau ciri-ciri lainnya manusia dapat dibagi dalam beberapa kelompok dengan kategori-kategori tertentu, tidak berarti bahwa masing-masing baik secara individual ataupun kelompok akan mempunyai persamaan dalam hal sikap dan perilakunya.umpamanya: 3 (tiga) orang (si A, si B, si C) semuanya memiliki beberapa karakteristik individual yang sama, yakni semuanya wanita, semuanya bekerja sebagai guru sekolah dasar, dan semuanya berpendidikan tamatan SLTA. Namun demikian, ketiga orang tersebuit boleh jadi masing-masing akan mempunyai perbedaan satu sama lainnya mengenai sikap dan perilakunya tentang suatu hal.
Dalam perkembangan selanjutnya, pendekatan ilmu pengetahuan sosial ini kemudian secara umum terbagi lagi dalam dua kubu: ilmu pengetahuan tingkah laku (behavioral science) dan ilmu pengetahuan sosial (social science). Kubu pertama umumnya menekankan pengkajiannya pada tingkah laku individual manusia, sedangkan kubu yang kedua pada interaksi antarmanusia. Perbedaan antara kedua kubu tersebut dasarnya hanya menyangkut aspek permasalahan yang diamati, sementara metode pengamatannya relatif sama.
Bidang kajian ilmu komunikasi sebagai salah satu ilmu pengetahuan sosial, pada dasarnya difokuskan pada pemahaman tentang bagaimana tingkah laku manusia dalam menciptakan, mempertukarkan, dan menginterpretasikan pesan-pesan untuk tujuan tertentu. Namun, dengan adanya dua pendekatan (scientific dan humanistic) yang diterapkan muncul dua kelompok masyarakat ilmuan komunikasi yang berbeda, baik dalam spesifikasi objek permasalah yang diamatinya, maupun dalam hal aspek metodologis serta teori-teori dan model-model yang dihasilkannya. Kalangan ilmuan komunikasi yang mendalami bidang studi speech communication (komunikasi ujaran) umumnya banyak menerapkan metode aliran pendekatan humanistic. Teori-teori yang dihasilkannya pun lazimnya disebut sebagai teori retorika. Sementara para ahli ilmu komunikasi yang meneliti bidang-bidang studi lainnya, seperti komunikasi antarpribadi, komunikasi dalam kelompok, komunikasi organisasi, komunikasi massa dan lain-lain, umumnya banyak menerapkan metode-metode pendekatan scientific. Teori-teori yang dihasilkannya biasanya disebut sebagai teori komunikasi (communication theory). Namun demikian, pengelompokan semacam ini sekarang ini sudah tidak jelas lagi. Karena dalam prakteknya, kalangan ilmuan mendalami bidang kajian komunikasi ujaran sering pula menerapkan pendekatan “scientific”. Sementara itu pendekatan-pendekatan “humanistic” juga banyak diterapkan dalam penelitian tentang masalah-masalah komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok, komunikasi organisasi, komunikasi massa, dan lain-lain.
Pengertian tentang Ilmu dan Teori dalam Komunikasi
Terdapat banyak definisi tentang ilmu yang dirumuskan oleh para ahli. Masing-masing mempunyai penekanan arti yang berbeda satu dengan lainnya. Empat diantaranya adalah sebagai berikut.
“Ilmu adalah pengetahuan yang bersifat umum dan sistematik, pengetahuan dari mana dapat disimpulkan dalil-dalil tertentu menurut kaidah-kaidah umum” (Nazir, 1988).
“Konsepsi ilmu pada dasarnya mencakup tiga hal: adanya rasionalitas, dapat digeneralisasi, dan dapat disistematisasi” (Shapere, 1974).
“Pengertian ilmu mencakup logika, adanya interpretasi subjektif, dan konsistensi dengan realitas sosial” (Alfred Schutz, 1962).
“Ilmu tidak hanya merupakan sesuatu pengetahuan yang terhimpun secara sistematis, tetapi juga merupakan sesuattu metodologi” (Tan, 1954).
Dari empat definisi di atas dapatlah disimpulkan bahwa ilmu pada dasarnya adalah pengetahuan tentang suatu hal, baik yang menyangkut alam (natural) atau sosial (kehidupan masyarakat), yang diperoleh manusia melalui proses berpikir. Pengertian ilmu dalam dunia ilmiah menuntut tiga ciri. Pertama, ilmu harus merupakan suatu pengetahuan yang didasarkan pada logika. Kedua, ilmu harus terorganisasikan secara sistematik. Ketiga, ilmu harus berlaku umum.
Pengertian mengenai ilmu komunikasi, pada dasarnya mempunyai karakteristik yang sama dengan pengertian ilmu secara umum sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Hanya saja objek perhatiannya difokuskan pada peristiwa-peristiwa komunikasi antarmanusia. Salah satu definisi yang cukup jelas mengenai ilmu komunikasi diberikan oleh Berger dan Chafee dalam buku mereka Handbook of Communication Science terbitan tahun 1987. Menurut Berger dan Chafee, ilmu komunikasi adalah “Ilmu pengetahuan tentang produksi, proses dan pengaruh dari sistem-sistem tanda dan lambang melalui pengembangan teori-teori yang dapat diuji dan digeneralisasikan dengan tujuan menjelaskan fenomena yang berkaitan dengan produksi, proses dan pengaruh dari sitem-sistem tanda dan lambang.
Pengertian ilmu komunikasi yang dijelaskan oleh Berger dan Chafee tersebut memberikan 3 (tiga) pokok pikiran. Pertama, objek pengamatan yang jadi fokus perhatian dalam ilmu komunikasi adalah produksi, proses dan pengaruh dari sistem-sistem tanda dan lambang dalam konteks kehidupan manusia. Kedua, ilmu komunikasi bersifat “ilmiah-empiris” (scientific) dalam arti pokok-pokok pikiran dalam ilmu komunikasi (dalam bentuk-bentuk teori) harus berlaku umum. Ketiga, ilmu komunikasi bertujuan menjelaskan fenomena sosial yang berkaitan dengan produksi, proses dan pengaruh dari sistem-sistem tanda dan lambang.
Berdasarkan definisi dari Berger dan Chafee serta uraian-uraian yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya tentang ciri-ciri ilmu, dapatlah dikatakan bahwa ilmu komunikasi pada dasarnya adalah ilmu pengetahuan tentang peristiwa komunikasi yang diperoleh melalui suatu penelitian tentang sistem, proses dan pengaruhnya yang dilakukan secara rasional dan sistematik, serta kebenarannya dapat diuji dan digeneralisasikan.
Secara umum istilah teori dalam ilmu sosial mengandung beberapa pengertian sebagai berikut.
1. Teori adalah abstaksi dari realitas.
2. Teori terdiri dari sekumpulan prinsip-prinsip dan definisi-definisi yang secara konseptual
mengorganisasikan aspek-aspek dunia empiris secara sistematis.
3. Teori terdiri dari asumsi-asumsi, proposisi-proposisi, dan aksioma-aksioma dasar yang saling berkaiatan.
4. Teori terdiri dari teorema-teorema, yakni generalisai-generalisasi yang diterima/terbukti secara empiris.
Dari pengertian-pengertian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa teori pada dasarnya merupakan “konseptualisasi atau penjelasan logis dan empiris tentang suatu fenomena”. Teori memiliki dua ciri umum. Pertama, semua teori adalah “abstraksi” mengenai suatu hal. Dengan demikian teori sifatnya terbatas. Teori tentang radio kemungkinan besar tidak dapat dipergunakan untuk menjelaskan hal-hal yang menyangkut televisi. Kedua, semua teori adalah konstruksi ciptaan individual manusia. Oleh sebab itu sifatnya relatif tergantung pada cara pandang si pencipta teori, sifat dan aspek hal yang diamati, serta kondisi-kondisi lain yang mengikat seperti waktu, tempat dan lingkungan di sekitarnya.
Berdasarkan uraian di atas, secara sederhana dapat dikatakan bahwa teori komunikasi pada dasarnya merupakan “konseptualisasi atau penjelasan logis tentang fenomena peristiwa komunikasi dalam kehidupan manusia”. Peristiwa yang dimaksud, seperti yang dimaksud oleh Berger dan Chafee, mencakup produksi, proses, dan pengaruh dari sistem-sistem tanda dan lambang yang terjadi dalam kehidupan manusia.
Penjelasan dalam teori tidak hanya menyangkut penyebutan nama dan pendefinisian variabel-variabel, tetapi juga mengidentifikasikan keberaturan hubungan di antara variabel. Menurut Littlejohn (1987, 1989, 2002), penjelasan dalam teori berdasarkan pada “prinsip keperluan” (the principle of necessity), yakni suatu penjelasan yang menerangkan variabel-variabel apa yang kemungkinan diperlukan untuk menghasilkan sesuatu. Contoh: untuk menghasilkan X, barangkali diperlukan adanya Y dan Z.
Selanjutnya, Littlejohn menjelaskan bahwa prinsip keperluan ini ada tiga macam: (1) causal necessity (keperluan kausal), (2) practical necessity (keperluan praktis), (3) logical necessity (keperluan logis). Keperluan kausal berdasarkan asas hubungan sebab akibat. Umpamanya, karena ada Y dan Z maka terjadi X. Keperluan praktis menunjuk pada kondisi hubungan “tindakan-konsekuensi”. Kalau menurut prinsip keperluan kausal X terjadi karena Y dan Z, maka menurut prinsip penjelasan keperluan praktis Y dan Z memang bertujuan untuk, atau praktis akan, menghasilkan X, prinsip yang ketiga (“prinsip keperluan logis”) berdasarkan pada asas konsistensi logis. Artinya, Y dan Z secara konsisten dan logis akan selalu menghasilkan X.
Penjelasan dalam teori lebih lanjut juga dapat dibagi dalam dua kategori: penjelasan yang memfokuskan pada orang/pelaku (person centered) dan penjelasan yang memfokuskan pada situasi (situation centered). Penjelasan yang memfokuskan pada orang/pelaku menunjuk pada faktor-faktor internal yang ada dalam diri seseorang (si pelaku). Sementara penjelasan yang memfokuskan pada situasi menunjuk pada faktor-faktor yang ada di luar diri orang tersebut (faktor-faktor eksternal).
Sifat dan tujuan teori, menurut Abraham Kaplan (1964), adalah bukan semata untuk menemukan fakta yang tersembunyi, tetapi juga suatu cara untuk melihat fakta, mengorganisasikan serta mempresentasikan fakta tersebut. Suatu teori harus sesuai dengan dunia ciptaan Tuhan, dalam arti dunia yang sesuai dengan ciri yang dimilikinya sendiri. Dengan demikian teori yang baik adalah teori yang sesuai dengan realitas kehidupan. Teori yang baik adalah teori yang konseptualisasi dan penjelasannya didukung oleh fakta serta dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Apabila konsep dan penjelasan teori tidak sesuai dengan realitas maka keberlakuannya diragukan dan teori demikian tergolong teori semu.
Teori juga mempunyai fungsi. Menurut Littlejohn, fungsi teori ada 9 (sembilan): (1) mengorganisasikan dan menyimpulkan, (2) memfokuskan, (3) menjelaskan, (4) mengamati, (5) membuat prediksi, (6) heuristic, (7) komunikasi, (8) kontrol/mengawasi, dan (9) “generatif’.
Fungsi pertama teori adalah mengorganisasikan dan menyimpulkan pengetahuan tentang sesuatu hal. Ini berarti bahwa dalam mengamati realitas kita tidak boleh melakukannya secara sepotong-potong. Kita perlu mengorganisasikan dan mensistensikan hal-hal yang terjadi dalam kehidupan ddunia. Pola-pola dan hubungan-hubungan harus dapat dicari dan ditemukan. Pengetahuan kita tentang pola-pola dan huubungan-hubungan ini kemudian diorganisasikan dan disimpulkan. Hasilnya (berupa teori) akan dapat dipakai sebagai rujukan atau dasar bagi upaya-upaya studi berikutnya.
Fungsi yang kedua adalah memfokuskan. Artinya hal-hal atau aspek-aspek dari suatu objek yang diamati harus jelas fokusnya. Teori pada dasarnya hanya menjelaskan tentang suatu hal, bukan banyak hal.
Fungsi yang ketiga adalah menjelaskan. Maksudnya adalah bahwa teori harus mampu membuat suatu penjelasan tentang hal yang diamatinya. Penjelasan ini tidak hanya berguna untuk memahami pola-pola, hubungan-hubungan, tetapi juga untuk meninterpretasikan peristiwa-peristiwa tertentu.
Fungsi keempat, pengamatan, menunjukkan bahwa teori tidak saja menjelaskan tenttang apa yang sebaiknya diamati, tetapi juga memberikan petunjuk bagaimana cara mengamatinya. Oleh karena itulah teori yang baik adalah teori yang berisikan konsep-konsep operasional. Konsep operasional ini penting karena bisa dijadikan sebagai patokan untuk mengamati hal-hal rinci yang berkaitan dengan elaborasi teori.
Fungsi teori kelima adalah membuat prediksi. Meskipun kejadian yang diamati berlaku pada masa lalu, namun berdasarkan data dan hasil pengamatan ini harus dibuat suatu perkiraan tentang keadaan yang bakal terjadi apabila hal-hal yang digambarkan oleh teori, juga tercerminkan dalam kehidupan di masa sekarang. Fungsi prediksi ini terutama sekali penting bagi bidang-bidang kajian komunikasi terapan, seperti persuasi dan perubahan sikap, komunikasi dalam organisasi, dinamika kelompok kecil, periklanan, “public relations”, dan media massa.
Fungsi yang keenam adalah fungsi heuristic atau heurisme. Aksioma umum menyebutkan bahwa teori yang baik adalah teori yang mampu merangsang penelitian. Ini berarti bahwa teori yang diciptakan dapat merangsang timbulnya upaya-upaya penelitan selanjutnya. Hal ini dapat terjadi apabila konsep-konsep dan penjelasan-penjelasan teori cukup jelas dan operasional sehingga dapat dijadikan pegangan bagi penelitian-penelitian sselanjutnya.
Fungsi yang ketujuh, komunikasi, menunjukkan bahwa teori seharusnya tidak menjadi monopoli si penciptanya. Teori harus dipublikasikan, didiskusikan, dan terbuka terhadap kritikan-kritikan. Dengan cara ini maka modifikasi dan upaya penyempurnaan teori akan dapat dilakukan.
Fungsi yang kedelapan, fungsi kontrol, bersifat normatif. Hal ini dikarenakan bahwa asumsi-asumsi teori dapat kemudian berkembang menjadi norma-norma atau nilai-nilai yang dipegang dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, teori dapat berfungsi sebagai sarana pengendali atau pengontrol tingkah laku kehidupan manusia.
Fungsi teori yang terakhir adalah fungsi “generatif”. Fungsi ini, terutama sekali menonjol di kalangan pendukung tradisi/aliran pendekatan interpretatif dan teori kritis. Menurut pandangan aliran ini, teori juga berfungsi sebagai sarana perubahan sosial dan kultural, serta sarana untuk menciptakan pola dan cara kehidupan yang baru.
Proses pengembangan atau pembentukan teori umumnya mengikuti model pendekatan eksperimental yang lazim dipergunakan dalam ilmu pengetahuan alam. Menurut pendekatan ini, biasa disebut hypothetico-deductive method (metode hipotetis-deduktif), proses pengembangan teori melibatkan empat tahap sebagai berikut.
1. Developing questions (mengembangkan pertanyaan).
2. Forming hypotheses (menyusun hipotesis).
3. Testing the hypotheses (menguji hipotesis).
4. Formulating theory (memformulasikan teori).
Proses dari keempat tahap pengembangan teori ini, sebagaimana dijelaskan oleh Littlejohn, adalah sebagai berikut.
Gambar 1.1
Gambar 1.1 menunjukkan bahwa pertama, asumsi-asumsi teori dideduksi menjadi hipotesis. Kemudian hipotesis ini dirinci lagi ke dalam konsep-konsep operasional yang dapat dijadikan sebagai patokan untuk pengamatan/observasi. Berdasarkan hasil-hasil temuan pengamatan yang dilakukan melalui metode dan pengukuran tertentu, kemudian dibuat generalisasi-generalisasi. Dan dari generalisasi-generalisasi ini akhirnya diinduksi menjadi teori.
Ada beberapa patokan yang dapat dijadikan sebagai tolok ukur dalam mengevaluasi kesahihan teori. Pertama, adalah “cakupan teoretis” (theoretical scope). Dengan demikian persoalan pokok di sini adalah apakah suatu teori yang dibangun memiliki prinsip “generality” atau keberlakuan umum. Patokan kedua adalah “kesesuaian” (appropriateness), yakni apakah isi teori sesuai dengan pertanyaan—pertanyaan/permasalahan-permasalahan teoretis yang diteliti. Ketiga adalah “heuristic”. Pertanyaannya adalah apakah suatu teori yang dibentuk punya pottensi untuk menghasilkan penelitian atau teori-teori lainnya yang berkaitan. Validitas (validity) atau konsistensi internal dan eksternal merupakan patokan yang keempat. Konsistensi internal mempersoalkan apakah konsep dan penjelasan teori konsisten dengan pengamatan. Sementara itu, konsistensi eksternal mempertanyakan apakah teori yang dibentuk didukung oleh teori-teori lainnya yang telah ada. Patokan kelima adalah parsimony (kesederhanaan). Inti pemikirannya adalah bahwa teori yang baik berisikan penjelasan-penjelasan yang sederhana.
Komponen Konseptual dan Jenis-jenis Teori Komunikasi
Sebagaimana telah disinggung dalam Modul Pengantar Komunikasi, sejalan dengan perkembangan ilmu komunikasi sebagai ilmu pengetahuan sosial yang bersifat multidisipliner, definisi-definisi mengenai komunikasi yang diberikan para ahli pun sangat beragam. Masing-masing punya penekanan arti, cakupan, dan konteksnya yang berbeda satu sama lainnya. Frank E.X. Dance (1976), seorang sarjana Amerika yang menekuni bidang komunikasi, menginventarisasi 126 defiinisi komunikasi yang berbeda-beda satu sama lainnya. Dari definisi-definisi ini ia menemukan adanya 15 (lima belas) komponen konseptual pokok. Berikut adalah gambaran mengenai kelima belas komponen tersebut disertai dengan contoh-contoh definisinya.
1. Simbol-simbol/verbal/ujaran
“Komunikasi adalah pertukaran pikiran atau gagasan secara verbal.” (Hoben, 1954).
2. Pengertian/pemahaman
“Komunikasi adalah suatu proses dengan makna kita bisa memahami dan dipahami oleh orang lain.
Komunikasi merupakan proses yang dinamis dan secara konstan berubah dengan situasi yang berlaku.”
(Anderson, 1959).
3. Interaksi/hubungan/proses sosial
“Interaksi, juga dalam tingkatan biologis, adalah salah satu perwujudan komunikasi, karena tanpa
komunikasi tindakan-tindakan kebersamaan tidak akan terjadi.” (Mead, 1963).
4. Pengurangan rasa ketidakpastian
“Komunikasi timbul didorong oleh kebutuhan-kebutuhan untuk mengurangi rasa ketidakpastian,
bertindak secara efektif, mempertahankan atau memperkuat ego.” (Barnlund, 1964).
5. Proses
“Komunikasi adalah proses penyampaian informasi, gagasan, emosi, keahlian, dan lain-lain, melalui
penggunaan simbol-simbol, seperti kata-kata, gambar-gambar, angka-angka, dan lain-lain.” (Berelson
dan Steiner, 1964).
6. Pengalihan/penyampaian/pertukaran
“Penggunaan kata komunikasi tampaknya menunjuk kepada adanya sesuatu yang dialihkan dari suatu
benda atau orang ke benda atau orang lainnya. Kata komunikasi kadang-kadang menunjuk kepada apa
yang dialihkan, alat apa yang dipakai sebagai saluran pengalihan, atau nnenunjuk kepada keseluruhan
proses upaya pengalihan. Dalam banyak kasus, apa yang dialihkan itu kemudian menjadi milik atau
bagian bersama. Oleh karena itu, komunikasi juga menuntut adanya partisipasi.” (Ayer, 1955).
7. Menghubungkan/menggabungkan
“Komunikasi adalah suatu proses yang menghubungkan satu bagian dalam kehidupan dengan bagian
lainnya.” (Ruesch, 1957).
8. Kebersamaan
“Komunikasi adalah suatu proses yang membuat sesuatu dari yang semula dimiliki oleh seorang
(monopoli seseorang) menjadi dimiliki oleh dua orang atau lebih.” (Gode, 1959).
9. Saluran/alat/jalur
“Komunikasi adalah alat pengiriman pesan-pesan kemiliteran perintah/order, dan lain-lain, seperti
telegraf, telepon, radio, kurir, dan lain-lain.” (American College Dictionary).
10. Replika memori
“Komunikasi adalah proses yang mengarahkan perhatian seseorang dengan tujuan mereplikasi
memori.” (Cartier dan Harwood, 1953).
11. Tanggapan diskriminatif
“Komunikasi adalah tanggapan diskriminatif dari suatu organisme terhadap suatu stimulus.” (Stevens,
1950).
12. Stimuli
“Setiap tindakan komunikasi dipandang sebagai penyampaian informasi yang berisikan stimuli
diskriminatif, dari suatu sumber terhadap penerima.” (Newcomb, 1966).
13. Tujuan/kesengajaan
“Komunikasi pada dasarnya penyampaian pesan yang disengaja dari sumber terhadap penerima
dengan tujuan mempengaruhi tingkah laku pihak penerima.” (Miller, 1966).
14. Waktu/situasi
“Proses komunikasi merupakan suatu transisi dari suatu keseluruhan struktur situasi ke situasi yang lain
sesuai pola yang diinginkan.” (Sondel, 1956).
15. Kekuasaan/kekuatan
“Komunikasi adalah suatu mekanisme yang menimbulkan kekuatan/kekuasaan.” (Schacter, 1951).
Kelima belas komponen konseptual tersebut di atas merupakan kerangka acuan yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam menganalisis fenomena peristiwa komunikasi. Komponen-komponen tersebut, baik secara tersendiri, secara gabungan (kombinasi dari beberapa komponen) ataupun secara keseluruhan, dapat dijadikan sebagai fokus perhatian dalam penelitian.
Menurut Littlejohn (1989), berdasarkan metode penjelasan serta cakupan objek pengamatannya, secara umum teori-teori komunikasi dapat dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama disebut kelompok “teori-teori umum” (general theories). Kelompok kedua adalah kelompok “teori-teori kontekstual” (contextual theories).
Ada empat jenis teori yang diklasifikasikan masuk ke dalam kelompok teori-teori umum: (1) teori-teori fungsional dan struktural, (2) teori-teori behavioral dan cognitive, (3) teori-teori konvensional dan interaksional, serta (4) teori-teori kritis dan interpretif. Sementara kelompok teori-teori kontekstual terdiri dari teori-teori tentang (1) komunikasi antarpribadi, (2) komunikasi kelompok, (3) komunikasi organisasi, dan (4) komunikasi massa.
1. Teori-teori Fungsional dan Struktural
Ciri dari jenis teori ini (meskipun istilah fungsional dan struktural barangkali tidak tepat) adalah adanya kepercayaan atau pandangan tentang berfungsinya secara nyata struktur yang berada di luar diri pengamat. Menurut pandangan ini, seornag pengamat adalah bagian dari struktur. Oleh karena itu, cara pandangnya juga akan dipengaruhi oleh struktur yang berada di luar dirinya.
Meskipun pendekatan fungsiional dan struktural ini sering kali dikombinasikan, namun masing-masing mempunyai titik penekanan yang berbeda. Pendekatan strukturalisme yang berasal dari linguistik, menekankan pengkajiannya pada hal-hal yang menyangkut pengorganisasian bahasa dan sistem sosial. Pendekatan fungsionalisme yang berasal dari biologi, menekankan pengkajiannya tentang cara-cara mengorganisasikan dan mempertahankan sistem. Apabila ditelaah kedua pendekatan ini sama-sama mempunyai penekanan yang sama, yakni tentang sistem sebagai struktur yang berfungsi.
Kedua pendekatan ini juga memiliki beberapa persamaan karakteristik sebagai berikut.
a. Baik pendekatan strukturalisme ataupun pendekatan fungsionalisme, dua-duanya sama-sama lebih
mementingkan synchrony (stabilitas dalam kurun waktu tertentu) daripada diachrony (perubahan dalam
kurun waktu tertentu).
b. Kedua pendekatan sama-sama mempunyai kecendrungan memusatkan perhatiannya pada “akibat-
akibat yang tidak diinginkan” (unintended consequences) daripada hasil-hasil yang sesuai tujuan.
Kalangan strukturalis tidak mempercayai konsep-konsep “subjektivitas” dan “kesadaran”. Bagi mereka
yang diamati terutama sekali adalah faktor-faktor yang berada di luar kontrol dan kesadaran manusia.
c. Kedua pendekatan sama-sama mempunyai kepercayaan bahwa realitas itu pada dasarnya objektif dan
independent (bebas). Oleh karena itu, pengetahuan, menurut pandangan ini, dapat ditemukan melalui
metode pengamatan (observasi) empiris yang cermat.
d. Pendekatan strukturalisme dan fungsionalisme juga sama-sama bersifat dualistis, karena kedua-duanya
memisahkan bahasa dan lambang dari pemikiran-pemikiran dan objek-objek yang disimbolkan dalam
komunikasi. Menurut pandangan ini, dunia ini hadir karena dirinya sendiri, sementara bahasa hanyalah
alat untuk merepresentasikan apa yang telah ada.
e. Kedua pendekatan juga sama-sama memegang prinsip the correspondence theory of truth (teori
kebenaran yang sesuai). Menurut teori ini bahasa harus sesuai dengan realitas. Simbol-simbol harus
merepresentasikan sesuatu secara akurat.
2. Teori-teori Behavioral dan Cognitive
Sebagaimana halnya dengan teori-teori strukturalis dan fungsional, teori-teori behavoral dan kognitif juga merupakan gabungan dari dua tradisi yang berbeda. Asumsinya tentang hakikat dan cara menentukan pengetahuan juga sama dengan aliran strukturalis dan fungsional. Perbedaan utama antara aliran behavioral dan kognitif dengan aliran strukturalis dan fungsional hanyalah terletak pada fokus pengamatan serta sejarahnya. Teori-teori strukturalis dan fungsional yang berkembang dari sosiologii dan ilmu-ilmu sosial lainnya cenderung memusatkan pengkajiannya pada hal-hal yang menyangkut struktur sosial dan budaya. Sementara teori-teori behavioral dan kognitif yang berkembang dari spikologi dan ilmu-ilmu pengetahuan behavioralis lainnya, cenderung memusatkan pengamatannya pada diri manusia secara individual. Salah satu konsep pemikirannya yang terkenal adalah tentang model “S-R” (stimulus – ressponse) menggambarkan proses informasi antara “stimulus” (rangsangan) dan “respons” (tanggapan).
Teori-teori “behavioral dan cognitive” juga mengutamakan “variable analytic” (analisis variabel). Analisis ini pada dasarnya merupakan upaya mengidentifikasikan variabel-variabel kognitif yang dianggap penting, serta mencari hubungan kolerasi di antara variabel. Analisis ini juga menguraikan tentang cara-cara bagaimana variabel-variabel proses kognitif dan informasi menyebabkan atau menghasilkan tingkah laku tertentu.
Komunikasi, menurut pandangan teori ini, dianggap sebagai manifestasi ari tingkah laku, proses berpikir, dan fungsi “bio-neural” dari individu. Oleh karenanya, variabel-variabel penentu yang memegang peranan penting terhadap sarana kognisi seseorang (termasuk bahasa) biasanya berada di luar kontrol dan kesadaran orang tersebut.
3. Teori-teori Konvensional dan Interaksional
Teori-teori ini berpandangan bahwa kehidupan sosial merupakan suatu proses interaksi yang membangun, memelihara serta mengubah kebiasaan-kebiasaan tertentu, termasuk dalam hal ini bahasa dan simbol-simbol. Komunikasi, menurut teori ini, dianggap sebagai alat perekat masyarakat (the glue of sosiety). Kelompok teori ini berkembang dari aliran pendekatan “interaksionisme simbiolis” (symbolic interactionism) sosiologi dan filsafat bahasa ordiner. Bagi kalangan pendukung teori-teori ini, pengetahuan dapat ditemukan melalui metode interpretasi.
Berbeda dengan teori-teori strukturalis yang memandang struktur sosial sebagai penentu, teori-teori interaksional dan konvensional melihat struktur sosial sebagai produk dari interaksi. Fokus pengamatan teori-teori ini bukan terhadap struktur, tetapi tentang bagaimana bahasa dipergunakan untuk membentuk struktur sosial, serta bagaimana bahasa dan simbol-simbol lainnya direproduksi, dipelihara serta diubah dalam penggunaannya. Makna, menurut pandangan kelompok teori ini, tidak merupakan suatu kesatuan objektif yang ditransfer melalui komunikasi, tetapi muncul dari dan diciptakan melalui interaksi. Dnegan kata lain, makna merupakan produksi dari interaksi.
Menurut teori-teori interaksional dan konvensional, makna pada dasarnya merupakan kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh melalui interaksi. Oleh karena itu, makna dapat berubah dari waktu ke waktu, dari konteks ke konteks, serta dari satu kelompok sosial ke kelompok lainnya. Dengan demikian sifat objektivitas dari makna adalah relatif dan temporer.
4. Teori-teori Krisis dan Interpretif
Kelompok teori yang keempat adalah kelompok teori-teori krisis dan interpretif. Gagasan-gagasannya banyak berasal dari berbagai tradisi, seperti sosiologi interpretif (interpretive sociology), pemikiran Max Weber, phenomenology dan hermaneutucs, Marxisme dan aliran “Frankfurt School”, serta berbagai pendekatan tekstual, seperti teori-teori retorika, biblical dan kesusastraan. Pendekatan kelompok teori ini terutama sekali populer di negara-negara Eropa.
Meskipun ada beberapa perbedaan di antara teori-teori yang termasuk dalam kelompok ini, namun terdapat dua karakteristik umum. Pertama, penekanan terhadap peran subjektivitas yang didasarkan pada pengalaman individual. Kedua, makna atau “meaning” merupakan konsep kunci dalam teori-teori ini. Pengalaman dipandang sebagai meaning centered atau dasar pemahaman makna. Dengan memahami makna dari suatu pengalaman, seseoarang akan menjadi sadar akan kehidupan dirinya. Dalam hal ini bahasa menjadi konsep sentral karena bahasa dipandang sebagai kekuatan yang mengemudikan pengalaman manusia.
Di samping persamaan umum, juga dapat perbedaan yang mendasar antara teori-teori interpretif dan teori-teori kritis dalam hal pendekatannya. Pendekatan teori interpretif cenderung menghindarkan sifat-sifat preskriptif dan keputusan-keputusan absolut tentang fenomena yang diamati. Pengamatan (observations) menurut teori interpretif, hanyalah sesuatu yang bersifat tentatif dan relatif. Sementara teori-teori kritis (critical theorie) lazimnya cenderung menggunakan keputusan-keputusan yang absolut, preskriptif dan juga politis sifatnya.
Berdasarkan konteks atau tingkatan analisisnya, teori-teori komunikasi secara umum dapat dibagi dalam lima konteks atau tingkatan sebagai berikut. (1) Intrapersonal communication (komunikasi antrapribadi), (2) Interpersonal communication (komunikasi antarpribadi), (3) Group communication (komunikasi kelompok), (4) Organizational communication (kelompok organisasi), dan (5) Mass communication (komunikasi massa).
Intrapersonal communication adalah proses komunikasi yang terjadi dalam diri seseorang. Yang jadi pusat perhatian di sini adalah bagaimana jalannya proses pengolahan informasi yang dialami seseorang melalui sistem syaraf dan indranya. Teori-teori komunikasi intrapribadi umumnya membahas mengenai proses pemahaman, ingatan, dan interpretasi terhadap simbol-simbol yang ditangkap melalui pancaindra.
Interpersonal communication atau komunikasi antarpribadi adalah komunikasi antarperorangan dan bersifat pribadi, baik yang terjadi secara langsung (tanpa medium) ataupun tidak langsung (melalui medium). Kegiatan-kegiatan seperti percakapan tatap muka (face to face communication), percakapan melalui telepon, surat menyurat pribadi, merupakan contoh-contoh komunikasi antarpribadi. Teori-teori komunikasi antarpribadi umumnya memfokuskan pengamatannya pada bentuk-bentuk dan sifat-sifat hubungan (relationships), percakapan (discourse), interaksi, dan karakteristik komunikator.
Komunikasi kelompok (group communication) memfokuskan pembahasannya pada interaksi di antara orang-orang dalam kelompok-kelompok kecil. Komunikasi kelompok juga melibatkan komunikasi antarpribadi. Teori-teori komunikasi kelompok antara lain membahas tentang dinamika kelompok, efisiensi dan efektivitas penyampaian informasi dalam kelompok, pola dan bentuk interaksi, serta pembuatan keputusan.
Komunikasi organisasi (organizational communication) menunjuk pada pola dan bentuk komunikasi yang terjadi dalam konteks dan jaringan organisasi. Komunikasi organisasi melibatkan bentuk-bentuk komunikasi formal dan informal, serta bentuk-bentuk komuikasi antarpribadi dan komunikasi kelompok. Pembahasan teori-teori komunikasi organisasi antara lain menyangkut struktur dan fungsi organisasi, hubungan antarmanusia, komuunikasi dan proses perorganisasian, serta kebudayaan organisai.
Komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi melalui media massa yang ditunjukan kepada sejumlah khalayak yang besar. Prosess komunikasi massa melibatkan aspek- aspek komunikasi intrapribadi, komunikasi antarpribadi komunikasi kelompok, dan komunikasi organisasi. Teori-teori komunikasi massa umumnya memfokuskan perhatiannya pada hal-hal yang menyangkut struktur media, hubungan media dan masyarakat, hubungan antara media dan khalayak, aspek-aspek budaya dari komunikasi massa, serta dampak atau hasil komunikasi massa terhadap individu.
Sumber: Buku Sasa Djuarsa Sendjaja, Ph.D.